Foto karya Gelly Galelika
Di café ini aku duduk, dengan kopi yang lebih gelap dari malam. Pukul enam pagi, aku pengunjung pertama. Kusuap pelayan dengan lembaran-lembaran rupiah, agar mengizinkanku masuk dan membiarkan aku meneguk penawar ini: kopi. Badanku lemas sekali, rasanya aku hendak terjatuh di depan pintu café. Melirik ranselku yang hampir muntah dan tas kain berisi beberapa kanvas dan kuas, pelayan itu memicingkan telunjuknya ke arah hotel. Entah hotel, entah trotoar di depan hotel itu. Namun dengan uang suap aku bisa masuk. Pun setelah aku duduk di sofa café, gantungan pintu bertuliskan “SELAMAT DATANG” masih belum dibalik. Jam enam pagi. Terlalu pagi untuk mengetuk pintu rumah seorang tabib, terlalu pagi untuk menelepon siapapun, terlalu pagi untuk berbicara pada diri sendiri, sekalipun. Aku tak pernah melakukannya. Aku tahu, setiap orang pasti pernah berdialog dengan diri dalam pikirannya, namun aku, aku selalu memotong dialog itu secepat goresan kuas saat kau yakin dengan bisikan darahmu. Aku tidak pernah berpikir. Semua warna yang kugoreskan adalah semacam keputusan yang dibisikkan dari urat leher, dari batang lengan, dari darah.