Cerpen Grand Final lomba PERCIKAN API.


Kata ibu hanya ada satu hukuman yang bisa membuat mereka benar-benar musnah, ialah jilatan lidah api keseluruh tubuhnya. karena mereka – para anjing-anjing – itu kebal terhadap hukuman apa pun, yang hanya membuat mereka akan terus menjadi beringas, menjelma menjadi serigala buas. Mereka itu makhluk yang pesat berkembangnya, dan yang pasti bukan karena beranak pinak, tetapi melalui pembelahan pada sel otak mereka yang terinfeksi virus yang juga hampir mirip dengan rabies. Dan kata Ibu, rata-rata yang terinfeksi adalah mereka yang berasal dari kelas bawah, yang memiliki kemampuan penyeimbang antara otak berfikir dengan nurani dibawah rata-rata, lebih rendah dibanding para idiot. Ya, mungkin insting kebinatangan mereka yang membuat nurani begitu tipis keberadaannya. Ya, mereka memang binatang, ibu saja lebih sering menyebutnya dengan “Anjing”. Atau hingga lagu-lagu yang didendangkan oleh para seniman jalanan itu pun berlirik tentang mereka yang serupa binatang. Keserekahan, ketidakpuasan serupa apa yang menjadikan binatang itu tega dengan lancang membuat orang berjalan pincang. Bahkan mereka ialah binatang yang lebih dari seekor binatang. Keberadaan mereka sungguh tersebar di seluruh pelosok negeri ini.

Lihat saja sepanjang perjalanan pulang, dari dalam mobil aku bisa melihat tingkah mereka yang liar menerkam korbanya – para gadis remaja, wanita muda, kadang malah anak gadis kecil – yang tengah melintas sendiri di jalan-jalan itu. Mereka menyerang tanpa ampun, kadang kalau belum puas menghisap madu dari korbannya, mereka akan menyiksanya hingga korban tidak bernyawa. Ya, benar-benar jelas aku lihat perubahan dari mereka yang begitu menjijikan. Mata yang memerah nanar sesaat setelah menangkap detail korbannya, ditambah pula dengan air liur yang meluap dari mulutnya yang memang sudah serupa dengan moncong anjing, lantas mulailah bulu disekujur tubuhnya terlihat tegak berdiri siaga, siap menyudutkan mangsanya. Dan setelah benar-benar di dapatkan buruannya, mereka memiliki cara yang berbeda-beda dalam memperlakukan mangsanya. Ada yang dibunuh terlebih dahulu lantas dinikmati perlahan, ada yang dinikmati terlebih dahulu lantas baru perlahan dibunuh, atau ada yang hanya dinikmati lantas dibiarkan hidup dengan jejak luka, yang seumur hidup tidak dapat terhapus.

Itulah sebabnya ibu tidak pernah membiarkan aku berkeliaran di jalan atau sekali pun di rumah sendiri. Ya, kadang rumah pun yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman, tetapi kini tidak lagi, mereka kadang dapat menyusup kedalam rumah dengan cara yang begitu manis dan klimis. ibu selalu berusaha mengantar jemput aku dan budeh, sekali pun ibu seorang wanita karir dengan berbagai kesibukannya. Dan budeh ini merupakan salah satu orang kepercayaan ibu untuk menemani sekaligus menjaga aku di mana pun, budeh sendiri juga masih ada hubungan kerabat dengan ibu. Sungguh sangat begitu takutnya ibu, jika aku menjadi sasaran kebuasan para gerombolan ”anjing-anjing”. Rasanya itu juga yang menjadi penyebab ibu tidak pernah lelah melahikan kembali setiap ucapannya, agar aku tidak nekat untuk pergi sendiri. Membuat semua huruf, kata dan kalimat-kalimat itu pun sepertinya telah penuh mengisi setiap sudut kepalaku.

“Wuk, selalu ingat ya pesan ibu. Jangan pernah keluar rumah sendiri atau jangan percaya siapa pun pria/lelaki yang tidak kamu kenal. Kalau pun ibu tidak bisa menemani, kamu minta tolong sama mbok karoh dan ayah. Lihat saja kelakuan “anjing-anjing” itu setiap hari, semakin tidak terkendali dan liar. Hingga para algojo di negeri ini pun tidak dapat mengatasi mereka dengan benar.”

Ya, memang terlihat menyeramkan semua itu, aku tidak hanya sekedar tahu akan berita para gerombolan “anjing-anjing” itu melalui surat kabar, tetapi juga kerap menyaksikan langsung tindak-tanduk mereka. Aku sudah pernah melihat itu semua hampir diberbagai tempat, entah itu di trotoar jalan yang telah carut marut dengan berbagai jejak mereka, entah itu di halte bus yang kadang menjadi sangat riuh ricuh saat mereka beraksi, dan mungkin masih banyak lagi tempat-temat lain yang tersembunyi, seperti rumah, lorong pertokoan, gedung-gedung sekolah, entahlah. Jadi memang benar mereka ada di mana-mana, menjadi hantu bagi para orang tua, gadis belia, wanita muda, hingga anak perempuan kecil.

Belum lama di sekolah dan daerah perumahan kami juga telah dikejutkan oleh sebuah kabar. Bahwa ada salah seorang murid di sekolah dan seorang anak umur 10 tahun di daerah perumahanku, telah menjadi korban. Kejadian itu sungguh tidak pernah terduga sebelumnya, mereka orang yang terpecaya ternyata sebagai salah satu dari “anjing-anjing” itu. Seorang murid yang satu sekolah dan juga sebaya denganku, dihabisi hingga nyawanya melayang oleh bapak penjaga sekolah. Sama halnya dengan anak di daerah perumahanku, sang pelaku juga bertugas sebagai keamanan perumahan kami, dia terlebih dahulu tertangkap basa sebelum sempat menghabisi nyawa anak malang tersebut.

“Ya, kalau hanya di penjara mereka tidak akan pernah jera. Mereka itu pantasnya dibakar hidup-hidup. Wuk, kamu benar ndak apa-apa ibu tinggal empat hari ke luar kota?”

“Ibu nggak usah khawatir, toh ada budeh yang jaga aku, nanti juga ada ayah.”

Sangat terlihat wajah ibu yang benar-benar bingung dan cemas, karena akan meninggalkan aku dalam beberapa hari untuk keluar kota, demi tugas pekerjaan dari kantornya. Kejadian di sekitar lingkungan tinggal kami, menjadikan momok kecemasan Ibu bertambah besar.

“Dik Genis nggak usah khawatir, Budeh janji jaga Wawuk sebaik mungkin selama adik keluar kota.”

“Wuk, kalau ada apa-apa kabarin Ibu langsung ya. Budeh, saya titip Wawuk, nanti saya suruh ayahnya untuk selalu pulang kantor lebih awal.” ibu memelukku bengitu erat, cemasnya perlahan merambat ketubuh ini.

Setelah ibu berangkat pergi, aku memang hanya berada di dalam rumah saja. Belum lagi setelah peristiwa itu hadir di sekolah, membuat Ibu langsung memutuskan untuk memanggil guru wanita khusus untuk datang ke rumah. Jadi aku tidak perlu repot-repot pergi ke sekolah untuk belajar. Sampai-sampai ibu juga telah berencana akan mengirim aku kuliah di luar negeri kelak, agar benar-benar jauh dari ancaman para “anjing-anjing”, itu keputusan terbaik menurut ibu. Ya, ibu sangat melindungi aku, putri semata wayangnya. Apa pun akan ibu lakukan demi diri dan kehidupan masa depanku.

Hari ini hari ke tiga ibu di luar kota, dan tak henti setiap waktu ibu menghubungi aku, hanya untuk sekedar memastikan aku aman dan baik-baik saja. Hari ini pun aku merasa cukup lega, karena segala sesuatunya berjalan dengan baik, meski awalnya ada beribu kekhawatiran dan kecemasan membayang sebelumnya. Tetapi benarkah segala sesuatu rencana berjalan mulus? Sampai aku tahu bahwa ternyata senja hari ini terkerat, menjadi senja paling sekarat untuk diingat. Sore ini aku kebingungan mencari budeh, tidak biasanya budeh membiarkan aku sendiri dirumah meski hanya beberapa menit saja. Tetapi kali ini, ke mana budeh? Kamarnya terkunci rapat. Ada rasa takut yang merangkul seketika, ketika aku dapati suara pintu depan terbuka.

“Budeh? Ayah?”

Hening rasanya, tidak ada sahutan sama sekali. Berkali-kali aku hubungi telpon genggam budeh, tetapi tetap tidak ada jawaban. Aku mencoba menulis pesan akan rasa takut ini kepada ibu, meski rasanya percuma, ibu dan Aku terpisah dengan jarak 822 KM. Berjalan menjajak lantai marmer rumah seperti tengah berjalan pada setapak lumpur, membuat langkah kakiku terasa berat. Hingga sampai didepan ruang tamu, kulihat pintu tertutup rapat. Dan tiba-tiba ada sebuah tangan membekap mulutku dari belakang, sedang tangannya yang satu lagi sibuk menjamah tubuhku dengan kasar. Aku meronta sejadinya, akan tetapi apalah daya tubuh seorang anak berumur 14 tahun seperti aku, terlalu kecil untuk meronta, melarikan diri. Semakin aku meronta beringas, semakin ganas dia membekap dan menggerayangi dengan kalap. Diantara sofa dan meja rotan ruang keluarga, aku dilempar hingga jatuh tersungkur dilembutnya karpet berbahan wool kesukaan ibu. Aku menjerit tercekat, saat kudapati wajah itu, wajah yang selama ini kukenal baik.

Sekejap wajah lembut itu berubah mengerikan. Mata teduhnya berubah menjadi berkilat menyala. Hidungnya kali ini sudah seperti moncong anjing yang tengah mendengus menggebu. Sedang suara mendayunya menjadi lolongan desah yang mengerikan di telingaku. Aku berteriak mengejan, ketika dia meremas dan menggigit kasar puting susuku yang ranum seranum buah ceres merah. Saat itu pula ada yang begitu runcing seruncing jarum, menghujam selaput daraku dengan sinting. Rintih atas perih, melengking parau dari sisa tenagaku yang habis terkikis. Butir peluhnya yang meluap, serupa percik air mendidih meletik dikulit, perlahan menyabik tubuhku sejentik demi sejentik.

Setelah kesadaranku hampir saja pergi, samar aku mendengar suara ayah dan ibu berteriak. “Budeh Wedi asu sampean!” Tidak lama setelah itu, dan sebelum ayah ibu membawaku pergi, buram aku lihat dia yang disebut “Anjing” dimakan kobaran api di halaman depan rumah kami. Aku  pun mendengar ibu berguman.

“Lihat Wedi kini menjadi bara api yang membuka kedok abu-abunya. Maafkan ibu, Wawuk.” Ibu merangkul erat aku yang terkulai hampir setengah mati mungkin.

Ya, inilah senja yang terkerat paling sekarat untuk diingat. Tak akan aku lupakan hari ini menjelang senja hujan terbawa angin memutarnya pelahan, melepasnya dari ranting yang dibebani begitu banyak daun yang terus-menerus berusaha untuk tidak bergoyang. Aku tak sempat lagi menyaksikan matahari yang senantiasa hilang-tampak di sela-sela rimbunan. Ada sesuatu yang dirasakannya hilang, ada lembab angin yang tidak akan bisa dirasakannya lagi. Ada gigil matahari yang tidak akan bisa dihayatinya lagi, yang berkas-berkas sinarnya suka menyentuh-nyentuhkan hangatnya pada ranting yang hanya berbisik jika angin lewat tanpa mengatakan apa-apa[1]. Ya, memang ada separuh hidupku yang telah hilang dihancurkan oleh seorang biseksual, yang ternyata orang terdekat kami sendiri “Budeh Wedi”.

Mustika Anisa

29 ‎Januari ‎2013, pk ‏‎22:32

Depok             

 

BOM CERPEN


[1] Dikutip dan ditulis ulang, dari sajak “Kolam di Pekarangan” Karya Sapardi Djoko Damono


Mustika AnisaMustika Anisa, tetapi cukup panggil saja Nisa. Lahir 23 tahun silam. Suka menulis dari sejak SMP, dan sampai sekarang masih dalam tahap belajar, walaupun pendidikannya sedikit melenceng dari dunia Sastra Bahasa: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang. Pengagum segala jenis karya sastra, kebudayaan, sains dan segala bentuk seni. Cerpen pertama kali termuat dalam Antologi Cerpen Pulang yang menjadi salah satu project dari komunitas Nulis Buku Club Malang.


Suka cerpen ini? Silakan dukung dengan melakukan voting di bawah ini!