Cari

BOM CERPEN

Ledakan Generasi Sastra Indonesia!

Kategori

BOM 2013

ENAM PURNAMA (Acep Aprilyana)

Foto karya Gelly Galelika
Foto karya Gelly Galelika

Di tengah kidung angin pada sepertiga malam, tak pernah lekang dari ingatanku, tatkala di atas sepasang bangku itu, dia mulai menyulam helaian-helaian kisah untukku perihal Kakek yang semasa hidupnya begitu bertanggung jawab dan pemberani.Dan juga dia yang gemar mendongeng tentang Maling Kundang yang dikutuk oleh ibunya karena kedurhakaanya ataupun tentang si kancil yang cerdik. Semuanya masih segar di ingatanku, sekalipun dia telah ceritakan itu 25 tahun yang silam. Ketika aku masih acapkali berpura-pura sakit tak ingin ikut belajar.Ketika aku masih sering bertelanjang kaki menenteng sandal jepit di atas tanah-tanah becek bekas hujan yang semuanya aku lakukan karena ingin datang ke suatu tempat yang akhirnya aku ketahui bernama sekolah. Baca selengkapnya di sini

ANGGUR ORANG MATI (Muhammad Qadhafi)

Foto karya Gelly Galelika
Foto karya Gelly Galelika

Anggur meleleh dari langit orang-orang mati dan menetes seperti hujan pesta mabuk-mabukan yang diberkati Tuhan.

***

Seorang takmir masjid sadar betul kalau entah berapa waktu lalu kejadian cerobohnya mengepel lantai masjid dengan terlalu banyak sabun telah membuatnya terjungkir ke ajalnya yang memalukan. Namun, setelah sekian lama dirundung kegelapan dan rasa malu mendalam, akhirnya ruhnya dapat menyaksikan langit bercahaya dalam kuburnya dan kuyu di wajahnya pun seolah berangsur sirna. Ruh dekil dan panuan itu terpesona melihat langit yang belum pernah ia lihat sebelumnya—meneteskan hujan hangat berwarna ungu, beraroma wine, dan membuatnya kuyup kegirangan—, sampai-sampai mendadak lupa menggaruk panu punggungya dan mendadak pula mengira (disertai keyakinan yang berlebihan) bahwa ia sedang berada dalam surga kehalalan yang abadi. Baca selengkapnya di sini

MERAH ABU (Sky Sairyou)

Kiamat.

Orang bilang kiamat itu dua ribu dua belas. Bukan. Kiamat itu dua ribu empat belas, ketika kita harus memilih antara penyanyi dangdut, pembantai rasis, atau babi.

Babi, rupanya. Di sanalah ia berdiri, di tengah-tengah kolam pemandian babi. Baca selengkapnya di sini

WANITA KE TIGA BELAS (Rusmin)

Wanita ke Tiga Belas
Foto karya Gelly Galelika

“Toha. Kapan dirimu akan menikah nak? Teman-teman sepermainanmu sudah pada memiliki anak. Lihat Bobi dan Saut. Mareka sudah punya anak. Ibu sudah lama merindukan ingin menimang cucu, nak. Apalagi usiamu sudah sangat pantas. Sudah 30 tahun. Pekerjaan mu sudah  mantap. Apa lagi yang engkau pikirkan dan risaukan nak? Kami sebagai orangtuamu sudah tua. Hanya cucu kebahagian bagi kami sekarang ini, nak. Itulah kebahagian kami yang hakiki saat usia seperti ini, nak. Menimang cucu,” ungkap Ibunya.

“Sabar bu. Sabar. Saya sedang mencari. Tidak gampang mencari wanita pada zaman kini bu. Tidak gampang,” jawab Toha beralasan

“Apa Ibu yang mencari jodoh buatmu? Anaknya Ibu Dedi cantik lho Toha. Orangnya santun. Berpendidikan pula,” ujar Ibunya lagi.

“Ha…ha…ha…,” Toha ngakak. Suaranya kalahkan deru motor yang semburkan debu dijalanan. ” Ibu,ibu. Kini bukan zaman Siti Nurbaya. Kini zamannya moderen. Zamannya twitter Bu,” ungkap Toha tertawa sambil memeluk sang Ibu dengan penuh kasih sayang.

Baca selengkapnya di sini

LELAKI ITU (DD Nana)

Lelaki Itu
Foto karya Gelly Galelika

Setelah kau catat segala peristiwa turunnya para dewa dan dewi dalam kulit bening Apsu dan Tiamat yang melonggarkan dahaga Mesopotamia, kau mulai memecahkan bayangan. Cahaya yang berkelindan dan jelma kegelapan yang dilahirkan Eufrat dan Tigris dengan mulutmu. Kata-kata yang kau gigit antara sepasang bibirmu, telah menjadi senjata. Mengalir lahir meski tak pernah kau rasa meruncing. Tetapi itu telah menjadi dengung yang tak dikenal oleh bibirmu sendiri. Menjelma suwung yang terkadang tak terpetakan. Tak terbahasakan. Dan kau pun resah atas segala yang tak pernah bisa dibaca dan diraba. Hingga Indus-indus memanggil dan menghiburmu dengan memberikan boneka gajah dan kura-kura raksasa yang menyangga semesta. Kau terpana sesaat. Di matamu ada yang berkilat. Seperti kerinduan. Lantas hidungmu mencoba merekam kedua boneka itu lewat bau. Mencoba untuk merasakan denyut dalam setiap lipatan kulit yang dijahit dengan gegas.  Beku dan kaku. Kau kunyah boneka itu dengan amarah, yang tersisa adalah serpih sejarah yang bukan miliknya.

Baca selengkapnya di sini

STROBERI (Winaldo Artaraya Swastia)

Foto karya Gelly Galelika
Foto karya Gelly Galelika

Jarum panjang yang tadi menunjukkan angka dua kini sudah bergerak dan memantapkan posisinya tepat di angka sembilan. Selama itu, aku hanya memperhatikan ruangan ini. Aku duduk di depan sebuah meja jati yang cukup besar. Di belakang meja, sebuah bangku kerja yang cukup besar dan tampak sangat nyaman hanya diam memperhatikan gerak-gerikku, menanti pemiliknya yang sepertinya sedang sibuk di luar sana. Pintu masuk terdapat di belakangku, sedangkan jendela dengan teralis besi tertutup vitrase krem yang bertengger di belakang bangku kerja tadi menghubungkan kamar ini dengan dunia luar. Dari posisiku, bila kau melihat sisi kanan dinding ruang ini, kau temukan jam tadi. Jam yang tak biasa, sebenarnya: sebuah jam berbentuk bintang berwarna emas dengan jarum-jarum berbentuk meteor. Tepat di bawahnya ada sebuah lemari dokumen yang juga terbuat dari kayu, menempel dinding ruang yang berwarna moka. Di seberang lemari itu, tepat dua meter di sebelah kiriku, sebuah meja bundar tinggi yang di atasnya terdapat beberapa botol minuman beralkohol yang bermerk serta sepasang gelas kristal. Baca selengkapnya di sini

SEPASANG MATA JALANG (Keisha Aozora)

Sepasang Mata Jalang

Foto karya Gelly Galelika

Di café ini aku duduk, dengan kopi yang lebih gelap dari malam. Pukul enam pagi, aku pengunjung pertama. Kusuap pelayan dengan lembaran-lembaran rupiah, agar mengizinkanku masuk dan membiarkan aku meneguk penawar ini: kopi.  Badanku lemas sekali, rasanya aku hendak terjatuh di depan pintu café. Melirik ranselku yang hampir muntah dan tas kain berisi beberapa kanvas dan kuas, pelayan itu memicingkan telunjuknya ke arah hotel. Entah hotel, entah trotoar di depan hotel itu. Namun dengan uang suap aku bisa masuk. Pun setelah aku duduk di sofa café, gantungan pintu bertuliskan “SELAMAT DATANG” masih belum dibalik. Jam enam pagi. Terlalu pagi untuk mengetuk pintu rumah seorang tabib, terlalu pagi untuk menelepon siapapun, terlalu pagi untuk berbicara pada diri sendiri, sekalipun. Aku tak pernah melakukannya. Aku tahu, setiap orang pasti pernah berdialog dengan diri dalam pikirannya, namun aku, aku selalu memotong dialog itu secepat goresan kuas saat kau yakin dengan bisikan darahmu. Aku tidak pernah berpikir. Semua warna yang kugoreskan adalah semacam keputusan yang dibisikkan dari urat leher, dari batang lengan, dari darah.

Baca selengkapnya di sini

SUKU DARAH (Ario Sasongko)

Foto karya Gelly Galelika
Foto karya Gelly Galelika

Ini rumah sakit punya cara yang menyeleweng. Ia menabungkan darahnya dengan dibagi-bagi dan diurutkan seusai dengan sebuah ketentuan. Pemiliknya sudah berketetapan demikan semenjak rumah sakit  ini dibangun.

“Sodara mau menyumbang darah.”

“Ya, betul.”

“Sodara pernah menyumbang di sini sebelumnya?”

“Pernah.”

“Jadi benar sodara datang kesini bukan karena ancaman?”

“Betul.” Baca selengkapnya di sini

CIUMAN TERAKHIR (Anton Kurniawan)

Ciuman Terakhir
Foto karya Gelly Galelika

“Apakah ada kamar lain?” tanya seorang wanita muda di bagian reservasi hotel.

“Tidak ada Ibu. Ini kamar satu-satunya yang tersisa di sini,” jawab pelayan hotel bersamaan dengan senyum manis si pelayan.

“Baik. Saya ambil yang ini,” kata wanita muda tersebut.

Kudengar percakapan wanita muda tersebut dengan pelayan hotel seraya terbuka pintu lobi utama. Aku baru saja tiba di hotel ini dalam keadaan setengah tak sadar. Aku baru saja mampir dari kafe seberang untuk melepas dahaga. Masih terasa manis pelepas dahaga itu di lidahku. Minuman yang kuminum rasanya terlalu manis. Tidak jauh berbeda dengan zat peluntur cat tembok. Tajam aromanya. Tawaran teman sejawat untuk mampir sejenak berbalas suasana pikiran yang mengambang. Tidak jelas siang dan malam. Aku lihat dari jendela langit berwarna hitam. Ada titik putih berbentuk sabit. Siang atau malamkah itu?

Baca selengkapnya di sini

PLAYBOY (Sky Sairyou)

Foto karya Gelly Galelika
Foto karya Gelly Galelika

Kalau ketemu orang yang melakukan ini pada mobilnya, akan ia— ia— bunuh? Tidak, bunuh rasanya terlalu ekstrim. Mungkin akan ia hajar habis-habisan. Atau paling-paling cuma ia maki-maki. Toh sepertinya yang melakukan ini wanita. Dan semua laki-laki tahu, kita tidak boleh menyakiti wanita—secara fisik.

Ah, kemungkinan besar ia cuma tertawa sendiri sambil membawa mobilnya ke tempat pencucian.

Playboy. Anjing. Brengsek. Baca selengkapnya di sini

PIAGAM (Rusmin)

Piagam
Foto karya Gelly Galelika

Sang mentari terbangun dari buaian mimpi. Cahaya paginya amat panas. Langit merah. Semerah wajah penarik becak yang mulai mengayuh pedal becak mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarganya. Semerah wajah para koruptor  yang membaca koran pagi yang memuat wajah santun mareka di halaman satu. Semerah delima wajah cantik para presenter  yang tampil di acara infotainment pagi.

Ditor pun masih terbuai dalam mimpi dan impian. Kehangatan dan keramahan pemilik penginapan tempatnya menginap membuatnya merasa nyaman dan menikmati mimpi yang selalu menemani malam-malam panjangnya. Usaha istrinya membangunkannya belum juga berhasil. Goyangan yang dilakukan istrinya terhadap tubuhnya belum mampu menghentikan mimpi Ditor. Padahal 2 jam lagi mareka harus datang ke pendopo Provinsi untuk menerima piagam penghargaan dari Gubernur dalam rangka hari jadi daerah itu.

Baca selengkapnya di sini

LAPANGAN PARKIR SIANG ITU (Keisha Aozora)

Lapangan Parkir Siang Itu
Foto karya Gelly Galelika

Check, check” Seseorang menempelkan mulutnya pada microphone.  “Mari, mari merapat, padatkan barisan.”

Sedari tadi awan tebal bergelayut, seolah menjadi payung bagi lapangan parkir yang sangat luas ini. Lapangan tanpa pepohonan yang biasanya panas terasa sejuk siang ini. Jika kau menarik nafas, udara sejuk ini akan merogoh parumu dan mencuri sekantung madu dari dua bongkah bidang berlendir dengan katu-katup udara itu. Sebuah panggung kokoh, pembawa acara itu tampak gagah dan anggun. Tubuhnya tinggi dengan liukan lekuk yang menggoda kita untuk menyandarkan kepala pada lekuk-lekuk itu. Baca selengkapnya di sini

STRIPTEASE (Abi Ardianda)

STRIPTEASE

Kau  pikir,  menggesek-gesekkan  tubuh  ke  tiang bak  ular  melata  sepanjang  malam  itu  pekerjaan  yang menyenangkan? Sembarangan!

***

Juli  di  Belgia,  pukul  sepuluh  senja  baru  tiba. Meski  pertokoan  tutup  pukul  lima,  kesepian  tak  urung menggelayuti kota. Sebab kedai  minuman tetap menerima pesanan  pengunjung sampai  gelap  tiba.  Kelab  malam justru baru buka.

Kebanyakan  penduduk  Eropa  gemar menghabiskan waktunya untuk bergentayangan dari bar ke bar,  dari  teras  ke  teras,  mereka  tak  sadar  hal  itu  yang membuat  bukit  di  perutnya  selalu  membesar.  Dalam perjalanan  ke  tempat  kerja,  saya  mengamati  bibir-bibir mereka  menggauli  pinggiran  gelas  bir.  Mengocehkan sesuatu  yang  sebelumnya  tak  dipikir.  Dari  telinga  ke telinga, sampai akhirnya ada yang tersindir dan meletuslah amarah  serupa  nuklir.  Bukankah  begitu,  kisah  klasik hidup?

Saya  rapatkan  jaket.  Angin  membuat  usaha matahari seharian ini sia-sia. Di  pertigaan,  sekumpulan  mata  lelaki  bercelana sempit  yang  berpapasan  dengan  saya  menyipit.  Memang, tanpa  perlu  menggelembungkan  ribuan  euro untuk silikon  dada  saya sudah boleh bangga. Wajah saya juga  nampaknya berhasil menjerat  lirikan  mereka  tanpa  perlu  botox  sana  sini. Mungkin  karena  itulah  kebanyakan  wanita  menganggap saya  sebagai ancaman.

Wanita  di  sebelah  kamar  saya,  misalnya. Yang  wajahnya  selalu  menor.  Ia  kerap menerobos  masuk apartemen  saya  dan  menuduh  saya  yang  bukan-bukan setelah  suaminya  berulang  kali  bertandang  untuk memperbaiki  kran yang bocor.  Tidak  jarang  juga  remaja  umur belasan mendelik  ke  arah  saya  ketika  pacarnya  menatap  belahan dada  saya  dengan  mulut  terbuka.  Apa  mereka  tak  tahu bahwa saya sama  sekali tidak tertarik menggantikan tugas mereka  melayani pacarnya melakukan  oral seks? Ada  lagi nenek  penjual  roti  di  sebrang  cafe  tempat  saya  bekerja, yang  sepasang  korneanya  alergi  oleh  manusia  dengan warna kulit cokelat muda. Silakan, tak pernah  saya larang ia untuk  membenci saya bila saya  tidur dengan suaminya. Tapi tidak karena saya berkulit Asia.

Saya  tidak  pernah  tidur  dengan  siapa  pun,  setelah terakhir dengan suami saya.

Suami  saya  pengoleksi  topeng.  Ia  selalu membawa  topeng-topeng  itu  setiap  kami  bepergian. Topeng-topeng  yang  dikenakannya  saat menemui  kolega, kerabat,  maupun  keluarganya nyaris  sama.  Hanya  dengan saya,  ia  mengenakan  topeng  yang  berbeda.  Ia  bersikeras tak  mau  menukarnya  meski  saya  pernah  meminta.  Dari sepasang  lubang  di  bagian  mata  topeng  yang  selalu dikenakannya  dengan  saya,  saya  mendapati  sepasang belati.  Liang  mulutnya  kerap  menghujani  saya  dengan ludah  yang  mengandung  serapah.  Tak  kuasa  lagi  saya mengenyampingkan  gundah  yang  selalu  hanya  mampu saya redam dengan pasrah.

Ia  memperlakukan  saya  seperti  mesin  senggama yang  senantiasa  dimasukinya  koin  kapanpun  ia  ingin main.  Selebihnya,  peran  saya  hanya  sebagai  bayang-bayang. Sesuatu yang menyelaraskan gerakannya ketika ia berada  di bawah sorotan. Sulit  saya percaya bahwa hanya untuk  itulah  selama  ini  susah  payah  saya  memantaskan diri mengusung predikat istri.

Semula,  tidak saya  kira bahwa  hanya  tubuh sintal saya  yang  menjadi  alasan  bibir  tebalnya  membual.  Ia, pada  pertemuan  pertama  kami  saat  itu  sengaja mengenakan  topeng  terbaiknya.  Yang  saya  yakin,  tak seorang  wanita  pun  akan  luput  dari tipuan  sulapnya  yang memukau.  Tongkat  sihir  yang  diayunkannya  di  depan mata  saya  mengangankan  surga,  sampai  buta  saya dibuatnya.  Otak  saya  lumpuh  seketika  oleh  lantunan mantra.  Jampi-jampinya  membuat  saya  mengangguk ketika  ia  bertanya  bersediakah  saya  dinikahi. Sandiwaranya berhenti pada ratusan malam setelah malam pertama kami beranjak pagi.

Sebelas  tahun,  semenjak  perangkat  tubuh  saya disulapnya  menjadi  lempengan  besi,  saya  benar-benar hilang  kendali.  Apa-apa  yang  menjadi  keputusannya hanya  mampu    saya  tanggapi  dengan  bungkam.  Bahkan, sampai terakhir surat cerai menampar wajah saya pun saya hanya diam.  Selembar  surat  yang  tak  pernah  dimimpikan perempuan  mana  pun itu mengantarkan  saya  kemari,  ke sebuah  gedung  persegi  untuk  menyambung  hari  dengan menari.  Striptease,  begitu  rakyat  Babilon  masa  itu memanggil penari macam kami.

***

Hei,  alles  goed?”  (Hei,  apa  semuanya  baik-baik saja?)  Sambut  sahabat  saya  tepat  di  pintu  masuk  sambil mengecup  pipi  saya  tiga  kali. Adalah sebuah peraturan tak tertulis di Belgia bahwa kami sebaiknya mengalikan tiga setiap ciuman di pipi, sebagai tanda kehangatan menyambut perjumpaan. “Heb je  tampon?”  (Apakah kau memiliki tampon?) Tanyanya lagi sambil menunjukan sebungkus  tampon  kosong  tepat  di  depan  kedua  mata saya.  Saya  tersenyum  geli  sebelum  menggeleng  dan bergegas masuk ke dalam.

Di  lorong  sempit  menuju  ruang  ganti  saya berpapasan  dengan  banyak  sekali  tatapan  lapar.  Tidak hanya  lelaki,  seorang  wanita  berambut  cepak  pun mengundang jari  tengah saya ketika  ia mencoba meremas pantat  saya, namun saya berkeras menghindar. Ia  berseru,  “amai,  je  bent  zo  mooi,  hoe veel  heb  je  haar  betaalt?”  (oh,  kau  begitu  cantik,  berapa kau pasang tarif?)

Saya percepat langkah.

Hoor je me nou?” (Apakah kau mendengarku?)

Ritme langkah saya tidak berkurang sampai saya tiba di ruang  ganti.  Ruangan ini selalu membuat saya  berharap  sedang  berada  di  mana  saja,  asal  tidak  di dunia ini. Tidak di ruangan ini.

Datang  seorang  pria  pendek  bertubuh  gemuk menyingkap  gorden.  Cuping  hidungnya  berkeringat.  “Ga je  daar  zitten  schimmelen  de  heele  nacht  door  of  geld gaan  maken?”  (Apa  kau  akan  duduk  membasi  di  situ sepanjang malam atau membuat uang?) Tatapan kami bertemu melalui cermin di hadapan saya.

Gerakan  jempolnya  yang  menuju  ke  arah  bar membuat saya membuntuti punggungnya.

Dari  atas  sini,  saya  menyaksikan  banyak  sekali wajah  pria  berbirahi.  Nyalang  matanya  seakan  nyaris lompat  keluar  saat  melihat  saya  pelan-pelan  melepas kutang. Saya bergoyang.  Berjingkak dan  menggeliat  pada sebuah tiang.  Selama  pundi-pundi  belum  terisi, saya akan terus  begini. Sampai  pagi. Sampai  jakun-jakun  yang   saya lihat  itu  tidak  turun  naik  lagi.  Sampai  desah  tergantikan dengkur.

Psssst, bila kau tahu  cara  lain  untuk  mendapatkan uang  tanpa perlu bergoyang, beritahu  saya.  Saya bisu dan tuli.

 

 

 

Abi Ardianda

2011

Bandung

 

BOM  CERPEN

(Di muat di antologi Selaput Dara Berbicara, 2012)

Ilustrasi: salah satu lukisan karya Jack Vettriano.

__________________________________________________

Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,

follow Twitter @BOM_Cerpen atau

FB: Page BOM Cerpen

TABUNGAN BAYU (Steve Elu)

Tabungan Bayu
Foto karya Ario Sasongko

Matahari telah lama terlelap di peraduannya. Langit tampak sepi, tak ditemani bintang-bintang. Bulan purnama yang berselimutkan awan pekat seolah tak berniat memamerkan kecantikannya. Lampu jalan di sepanjang jalan flyover Asemka, Jakarta tampak temaram. Pintu-pintu rumah dan pertokoan sudah tertutup rapat. Sesekali kendaraan bermotor dan mobil melintas di jalan itu, memecah kenunyian malam. Tak banyak orang yang lalu lalang di situ. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30.

Di atas sebilah papan, Bayu merebahkan diri dalam diam. Ia belum juga lelap. Pandanganya menerawang jauh membentur langit yang kelabu. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit erat sebatang rokok Djisamsoe. Sementara tangan kanannya menggenggam gelas plastik aqua berisi brendi. Baca selengkapnya di sini

TANAH (Ario Sasongko)

Foto karya Ario Sasongko
Foto karya Ario Sasongko

Dua hari sudah Bapak mengigau di atas kasur. Tak ia peduli pada perkara lain-lainnya, tak juga makan, minum, buang air, sendawa dan segala macam itu. Ia hanya berbaringan saja, tak sudi buka mata dan panas badan yang lebih banyak naik ketimbang turun. Anak-anak kesemuanya sudah berkumpul, itu terjadi amat segera setelah Dul mengirimkan pesan kawat yang isinya berpotongan singkat betul: “Bapak. Kalian. Sakit. Tak Sudi. Dibawa. Ke. Dukun Sehat. Cepat. Urus. Sini.” Dul ini sebenarnya sekedar tetangga yang ketimpa urusan untuk menjaga Bapak. Ia mendapat uang tiap bulan sebagai ganti kerugian atas segala kesusahan itu. Orang seperti Dul ini memang sudah perlu, terutama setelah Emak meninggal dan anak-anak bapak tak ada yang seorangpun sudi untuk balik lagi ke kandang sini, kampung bekas wilayah pabrik gula yang bangkrut akibat pekerjanya yang membelot. Baca selengkapnya di sini

Blog di WordPress.com.

Atas ↑