Di tengah kidung angin pada sepertiga malam, tak pernah lekang dari ingatanku, tatkala di atas sepasang bangku itu, dia mulai menyulam helaian-helaian kisah untukku perihal Kakek yang semasa hidupnya begitu bertanggung jawab dan pemberani.Dan juga dia yang gemar mendongeng tentang Maling Kundang yang dikutuk oleh ibunya karena kedurhakaanya ataupun tentang si kancil yang cerdik. Semuanya masih segar di ingatanku, sekalipun dia telah ceritakan itu 25 tahun yang silam. Ketika aku masih acapkali berpura-pura sakit tak ingin ikut belajar.Ketika aku masih sering bertelanjang kaki menenteng sandal jepit di atas tanah-tanah becek bekas hujan yang semuanya aku lakukan karena ingin datang ke suatu tempat yang akhirnya aku ketahui bernama sekolah. Baca selengkapnya di sini
Anggur meleleh dari langit orang-orang mati dan menetes seperti hujan pesta mabuk-mabukan yang diberkati Tuhan.
***
Seorang takmir masjid sadar betul kalau entah berapa waktu lalu kejadian cerobohnya mengepel lantai masjid dengan terlalu banyak sabun telah membuatnya terjungkir ke ajalnya yang memalukan. Namun, setelah sekian lama dirundung kegelapan dan rasa malu mendalam, akhirnya ruhnya dapat menyaksikan langit bercahaya dalam kuburnya dan kuyu di wajahnya pun seolah berangsur sirna. Ruh dekil dan panuan itu terpesona melihat langit yang belum pernah ia lihat sebelumnya—meneteskan hujan hangat berwarna ungu, beraroma wine, dan membuatnya kuyup kegirangan—, sampai-sampai mendadak lupa menggaruk panu punggungya dan mendadak pula mengira (disertai keyakinan yang berlebihan) bahwa ia sedang berada dalam surga kehalalan yang abadi. Baca selengkapnya di sini
Kiamat.
Orang bilang kiamat itu dua ribu dua belas. Bukan. Kiamat itu dua ribu empat belas, ketika kita harus memilih antara penyanyi dangdut, pembantai rasis, atau babi.
Babi, rupanya. Di sanalah ia berdiri, di tengah-tengah kolam pemandian babi. Baca selengkapnya di sini
“Toha. Kapan dirimu akan menikah nak? Teman-teman sepermainanmu sudah pada memiliki anak. Lihat Bobi dan Saut. Mareka sudah punya anak. Ibu sudah lama merindukan ingin menimang cucu, nak. Apalagi usiamu sudah sangat pantas. Sudah 30 tahun. Pekerjaan mu sudah mantap. Apa lagi yang engkau pikirkan dan risaukan nak? Kami sebagai orangtuamu sudah tua. Hanya cucu kebahagian bagi kami sekarang ini, nak. Itulah kebahagian kami yang hakiki saat usia seperti ini, nak. Menimang cucu,” ungkap Ibunya.
“Sabar bu. Sabar. Saya sedang mencari. Tidak gampang mencari wanita pada zaman kini bu. Tidak gampang,” jawab Toha beralasan
“Apa Ibu yang mencari jodoh buatmu? Anaknya Ibu Dedi cantik lho Toha. Orangnya santun. Berpendidikan pula,” ujar Ibunya lagi.
“Ha…ha…ha…,” Toha ngakak. Suaranya kalahkan deru motor yang semburkan debu dijalanan. ” Ibu,ibu. Kini bukan zaman Siti Nurbaya. Kini zamannya moderen. Zamannya twitter Bu,” ungkap Toha tertawa sambil memeluk sang Ibu dengan penuh kasih sayang.
Setelah kau catat segala peristiwa turunnya para dewa dan dewi dalam kulit bening Apsu dan Tiamat yang melonggarkan dahaga Mesopotamia, kau mulai memecahkan bayangan. Cahaya yang berkelindan dan jelma kegelapan yang dilahirkan Eufrat dan Tigris dengan mulutmu. Kata-kata yang kau gigit antara sepasang bibirmu, telah menjadi senjata. Mengalir lahir meski tak pernah kau rasa meruncing. Tetapi itu telah menjadi dengung yang tak dikenal oleh bibirmu sendiri. Menjelma suwung yang terkadang tak terpetakan. Tak terbahasakan. Dan kau pun resah atas segala yang tak pernah bisa dibaca dan diraba. Hingga Indus-indus memanggil dan menghiburmu dengan memberikan boneka gajah dan kura-kura raksasa yang menyangga semesta. Kau terpana sesaat. Di matamu ada yang berkilat. Seperti kerinduan. Lantas hidungmu mencoba merekam kedua boneka itu lewat bau. Mencoba untuk merasakan denyut dalam setiap lipatan kulit yang dijahit dengan gegas. Beku dan kaku. Kau kunyah boneka itu dengan amarah, yang tersisa adalah serpih sejarah yang bukan miliknya.
Jarum panjang yang tadi menunjukkan angka dua kini sudah bergerak dan memantapkan posisinya tepat di angka sembilan. Selama itu, aku hanya memperhatikan ruangan ini. Aku duduk di depan sebuah meja jati yang cukup besar. Di belakang meja, sebuah bangku kerja yang cukup besar dan tampak sangat nyaman hanya diam memperhatikan gerak-gerikku, menanti pemiliknya yang sepertinya sedang sibuk di luar sana. Pintu masuk terdapat di belakangku, sedangkan jendela dengan teralis besi tertutup vitrase krem yang bertengger di belakang bangku kerja tadi menghubungkan kamar ini dengan dunia luar. Dari posisiku, bila kau melihat sisi kanan dinding ruang ini, kau temukan jam tadi. Jam yang tak biasa, sebenarnya: sebuah jam berbentuk bintang berwarna emas dengan jarum-jarum berbentuk meteor. Tepat di bawahnya ada sebuah lemari dokumen yang juga terbuat dari kayu, menempel dinding ruang yang berwarna moka. Di seberang lemari itu, tepat dua meter di sebelah kiriku, sebuah meja bundar tinggi yang di atasnya terdapat beberapa botol minuman beralkohol yang bermerk serta sepasang gelas kristal. Baca selengkapnya di sini
Foto karya Gelly Galelika
Di café ini aku duduk, dengan kopi yang lebih gelap dari malam. Pukul enam pagi, aku pengunjung pertama. Kusuap pelayan dengan lembaran-lembaran rupiah, agar mengizinkanku masuk dan membiarkan aku meneguk penawar ini: kopi. Badanku lemas sekali, rasanya aku hendak terjatuh di depan pintu café. Melirik ranselku yang hampir muntah dan tas kain berisi beberapa kanvas dan kuas, pelayan itu memicingkan telunjuknya ke arah hotel. Entah hotel, entah trotoar di depan hotel itu. Namun dengan uang suap aku bisa masuk. Pun setelah aku duduk di sofa café, gantungan pintu bertuliskan “SELAMAT DATANG” masih belum dibalik. Jam enam pagi. Terlalu pagi untuk mengetuk pintu rumah seorang tabib, terlalu pagi untuk menelepon siapapun, terlalu pagi untuk berbicara pada diri sendiri, sekalipun. Aku tak pernah melakukannya. Aku tahu, setiap orang pasti pernah berdialog dengan diri dalam pikirannya, namun aku, aku selalu memotong dialog itu secepat goresan kuas saat kau yakin dengan bisikan darahmu. Aku tidak pernah berpikir. Semua warna yang kugoreskan adalah semacam keputusan yang dibisikkan dari urat leher, dari batang lengan, dari darah.
Ini rumah sakit punya cara yang menyeleweng. Ia menabungkan darahnya dengan dibagi-bagi dan diurutkan seusai dengan sebuah ketentuan. Pemiliknya sudah berketetapan demikan semenjak rumah sakit ini dibangun.
“Sodara mau menyumbang darah.”
“Ya, betul.”
“Sodara pernah menyumbang di sini sebelumnya?”
“Pernah.”
“Jadi benar sodara datang kesini bukan karena ancaman?”
“Betul.” Baca selengkapnya di sini
“Apakah ada kamar lain?” tanya seorang wanita muda di bagian reservasi hotel.
“Tidak ada Ibu. Ini kamar satu-satunya yang tersisa di sini,” jawab pelayan hotel bersamaan dengan senyum manis si pelayan.
“Baik. Saya ambil yang ini,” kata wanita muda tersebut.
Kudengar percakapan wanita muda tersebut dengan pelayan hotel seraya terbuka pintu lobi utama. Aku baru saja tiba di hotel ini dalam keadaan setengah tak sadar. Aku baru saja mampir dari kafe seberang untuk melepas dahaga. Masih terasa manis pelepas dahaga itu di lidahku. Minuman yang kuminum rasanya terlalu manis. Tidak jauh berbeda dengan zat peluntur cat tembok. Tajam aromanya. Tawaran teman sejawat untuk mampir sejenak berbalas suasana pikiran yang mengambang. Tidak jelas siang dan malam. Aku lihat dari jendela langit berwarna hitam. Ada titik putih berbentuk sabit. Siang atau malamkah itu?
Kalau ketemu orang yang melakukan ini pada mobilnya, akan ia— ia— bunuh? Tidak, bunuh rasanya terlalu ekstrim. Mungkin akan ia hajar habis-habisan. Atau paling-paling cuma ia maki-maki. Toh sepertinya yang melakukan ini wanita. Dan semua laki-laki tahu, kita tidak boleh menyakiti wanita—secara fisik.
Ah, kemungkinan besar ia cuma tertawa sendiri sambil membawa mobilnya ke tempat pencucian.
Playboy. Anjing. Brengsek. Baca selengkapnya di sini
Sang mentari terbangun dari buaian mimpi. Cahaya paginya amat panas. Langit merah. Semerah wajah penarik becak yang mulai mengayuh pedal becak mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarganya. Semerah wajah para koruptor yang membaca koran pagi yang memuat wajah santun mareka di halaman satu. Semerah delima wajah cantik para presenter yang tampil di acara infotainment pagi.
Ditor pun masih terbuai dalam mimpi dan impian. Kehangatan dan keramahan pemilik penginapan tempatnya menginap membuatnya merasa nyaman dan menikmati mimpi yang selalu menemani malam-malam panjangnya. Usaha istrinya membangunkannya belum juga berhasil. Goyangan yang dilakukan istrinya terhadap tubuhnya belum mampu menghentikan mimpi Ditor. Padahal 2 jam lagi mareka harus datang ke pendopo Provinsi untuk menerima piagam penghargaan dari Gubernur dalam rangka hari jadi daerah itu.
“Check, check” Seseorang menempelkan mulutnya pada microphone. “Mari, mari merapat, padatkan barisan.”
Sedari tadi awan tebal bergelayut, seolah menjadi payung bagi lapangan parkir yang sangat luas ini. Lapangan tanpa pepohonan yang biasanya panas terasa sejuk siang ini. Jika kau menarik nafas, udara sejuk ini akan merogoh parumu dan mencuri sekantung madu dari dua bongkah bidang berlendir dengan katu-katup udara itu. Sebuah panggung kokoh, pembawa acara itu tampak gagah dan anggun. Tubuhnya tinggi dengan liukan lekuk yang menggoda kita untuk menyandarkan kepala pada lekuk-lekuk itu. Baca selengkapnya di sini
Kau pikir, menggesek-gesekkan tubuh ke tiang bak ular melata sepanjang malam itu pekerjaan yang menyenangkan? Sembarangan!
***
Juli di Belgia, pukul sepuluh senja baru tiba. Meski pertokoan tutup pukul lima, kesepian tak urung menggelayuti kota. Sebab kedai minuman tetap menerima pesanan pengunjung sampai gelap tiba. Kelab malam justru baru buka.
Kebanyakan penduduk Eropa gemar menghabiskan waktunya untuk bergentayangan dari bar ke bar, dari teras ke teras, mereka tak sadar hal itu yang membuat bukit di perutnya selalu membesar. Dalam perjalanan ke tempat kerja, saya mengamati bibir-bibir mereka menggauli pinggiran gelas bir. Mengocehkan sesuatu yang sebelumnya tak dipikir. Dari telinga ke telinga, sampai akhirnya ada yang tersindir dan meletuslah amarah serupa nuklir. Bukankah begitu, kisah klasik hidup?
Saya rapatkan jaket. Angin membuat usaha matahari seharian ini sia-sia. Di pertigaan, sekumpulan mata lelaki bercelana sempit yang berpapasan dengan saya menyipit. Memang, tanpa perlu menggelembungkan ribuan euro untuk silikon dada saya sudah boleh bangga. Wajah saya juga nampaknya berhasil menjerat lirikan mereka tanpa perlu botox sana sini. Mungkin karena itulah kebanyakan wanita menganggap saya sebagai ancaman.
Wanita di sebelah kamar saya, misalnya. Yang wajahnya selalu menor. Ia kerap menerobos masuk apartemen saya dan menuduh saya yang bukan-bukan setelah suaminya berulang kali bertandang untuk memperbaiki kran yang bocor. Tidak jarang juga remaja umur belasan mendelik ke arah saya ketika pacarnya menatap belahan dada saya dengan mulut terbuka. Apa mereka tak tahu bahwa saya sama sekali tidak tertarik menggantikan tugas mereka melayani pacarnya melakukan oral seks? Ada lagi nenek penjual roti di sebrang cafe tempat saya bekerja, yang sepasang korneanya alergi oleh manusia dengan warna kulit cokelat muda. Silakan, tak pernah saya larang ia untuk membenci saya bila saya tidur dengan suaminya. Tapi tidak karena saya berkulit Asia.
Saya tidak pernah tidur dengan siapa pun, setelah terakhir dengan suami saya.
Suami saya pengoleksi topeng. Ia selalu membawa topeng-topeng itu setiap kami bepergian. Topeng-topeng yang dikenakannya saat menemui kolega, kerabat, maupun keluarganya nyaris sama. Hanya dengan saya, ia mengenakan topeng yang berbeda. Ia bersikeras tak mau menukarnya meski saya pernah meminta. Dari sepasang lubang di bagian mata topeng yang selalu dikenakannya dengan saya, saya mendapati sepasang belati. Liang mulutnya kerap menghujani saya dengan ludah yang mengandung serapah. Tak kuasa lagi saya mengenyampingkan gundah yang selalu hanya mampu saya redam dengan pasrah.
Ia memperlakukan saya seperti mesin senggama yang senantiasa dimasukinya koin kapanpun ia ingin main. Selebihnya, peran saya hanya sebagai bayang-bayang. Sesuatu yang menyelaraskan gerakannya ketika ia berada di bawah sorotan. Sulit saya percaya bahwa hanya untuk itulah selama ini susah payah saya memantaskan diri mengusung predikat istri.
Semula, tidak saya kira bahwa hanya tubuh sintal saya yang menjadi alasan bibir tebalnya membual. Ia, pada pertemuan pertama kami saat itu sengaja mengenakan topeng terbaiknya. Yang saya yakin, tak seorang wanita pun akan luput dari tipuan sulapnya yang memukau. Tongkat sihir yang diayunkannya di depan mata saya mengangankan surga, sampai buta saya dibuatnya. Otak saya lumpuh seketika oleh lantunan mantra. Jampi-jampinya membuat saya mengangguk ketika ia bertanya bersediakah saya dinikahi. Sandiwaranya berhenti pada ratusan malam setelah malam pertama kami beranjak pagi.
Sebelas tahun, semenjak perangkat tubuh saya disulapnya menjadi lempengan besi, saya benar-benar hilang kendali. Apa-apa yang menjadi keputusannya hanya mampu saya tanggapi dengan bungkam. Bahkan, sampai terakhir surat cerai menampar wajah saya pun saya hanya diam. Selembar surat yang tak pernah dimimpikan perempuan mana pun itu mengantarkan saya kemari, ke sebuah gedung persegi untuk menyambung hari dengan menari. Striptease, begitu rakyat Babilon masa itu memanggil penari macam kami.
***
“Hei, alles goed?” (Hei, apa semuanya baik-baik saja?) Sambut sahabat saya tepat di pintu masuk sambil mengecup pipi saya tiga kali. Adalah sebuah peraturan tak tertulis di Belgia bahwa kami sebaiknya mengalikan tiga setiap ciuman di pipi, sebagai tanda kehangatan menyambut perjumpaan. “Heb je tampon?” (Apakah kau memiliki tampon?) Tanyanya lagi sambil menunjukan sebungkus tampon kosong tepat di depan kedua mata saya. Saya tersenyum geli sebelum menggeleng dan bergegas masuk ke dalam.
Di lorong sempit menuju ruang ganti saya berpapasan dengan banyak sekali tatapan lapar. Tidak hanya lelaki, seorang wanita berambut cepak pun mengundang jari tengah saya ketika ia mencoba meremas pantat saya, namun saya berkeras menghindar. Ia berseru, “amai, je bent zo mooi, hoe veel heb je haar betaalt?” (oh, kau begitu cantik, berapa kau pasang tarif?)
Saya percepat langkah.
“Hoor je me nou?” (Apakah kau mendengarku?)
Ritme langkah saya tidak berkurang sampai saya tiba di ruang ganti. Ruangan ini selalu membuat saya berharap sedang berada di mana saja, asal tidak di dunia ini. Tidak di ruangan ini.
Datang seorang pria pendek bertubuh gemuk menyingkap gorden. Cuping hidungnya berkeringat. “Ga je daar zitten schimmelen de heele nacht door of geld gaan maken?” (Apa kau akan duduk membasi di situ sepanjang malam atau membuat uang?) Tatapan kami bertemu melalui cermin di hadapan saya.
Gerakan jempolnya yang menuju ke arah bar membuat saya membuntuti punggungnya.
Dari atas sini, saya menyaksikan banyak sekali wajah pria berbirahi. Nyalang matanya seakan nyaris lompat keluar saat melihat saya pelan-pelan melepas kutang. Saya bergoyang. Berjingkak dan menggeliat pada sebuah tiang. Selama pundi-pundi belum terisi, saya akan terus begini. Sampai pagi. Sampai jakun-jakun yang saya lihat itu tidak turun naik lagi. Sampai desah tergantikan dengkur.
Psssst, bila kau tahu cara lain untuk mendapatkan uang tanpa perlu bergoyang, beritahu saya. Saya bisu dan tuli.
Abi Ardianda
2011
Bandung
BOM CERPEN
(Di muat di antologi Selaput Dara Berbicara, 2012)
Ilustrasi: salah satu lukisan karya Jack Vettriano.
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen
Matahari telah lama terlelap di peraduannya. Langit tampak sepi, tak ditemani bintang-bintang. Bulan purnama yang berselimutkan awan pekat seolah tak berniat memamerkan kecantikannya. Lampu jalan di sepanjang jalan flyover Asemka, Jakarta tampak temaram. Pintu-pintu rumah dan pertokoan sudah tertutup rapat. Sesekali kendaraan bermotor dan mobil melintas di jalan itu, memecah kenunyian malam. Tak banyak orang yang lalu lalang di situ. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30.
Di atas sebilah papan, Bayu merebahkan diri dalam diam. Ia belum juga lelap. Pandanganya menerawang jauh membentur langit yang kelabu. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya menjepit erat sebatang rokok Djisamsoe. Sementara tangan kanannya menggenggam gelas plastik aqua berisi brendi. Baca selengkapnya di sini
Dua hari sudah Bapak mengigau di atas kasur. Tak ia peduli pada perkara lain-lainnya, tak juga makan, minum, buang air, sendawa dan segala macam itu. Ia hanya berbaringan saja, tak sudi buka mata dan panas badan yang lebih banyak naik ketimbang turun. Anak-anak kesemuanya sudah berkumpul, itu terjadi amat segera setelah Dul mengirimkan pesan kawat yang isinya berpotongan singkat betul: “Bapak. Kalian. Sakit. Tak Sudi. Dibawa. Ke. Dukun Sehat. Cepat. Urus. Sini.” Dul ini sebenarnya sekedar tetangga yang ketimpa urusan untuk menjaga Bapak. Ia mendapat uang tiap bulan sebagai ganti kerugian atas segala kesusahan itu. Orang seperti Dul ini memang sudah perlu, terutama setelah Emak meninggal dan anak-anak bapak tak ada yang seorangpun sudi untuk balik lagi ke kandang sini, kampung bekas wilayah pabrik gula yang bangkrut akibat pekerjanya yang membelot. Baca selengkapnya di sini