Lapangan Parkir Siang Itu
Foto karya Gelly Galelika

Check, check” Seseorang menempelkan mulutnya pada microphone.  “Mari, mari merapat, padatkan barisan.”

Sedari tadi awan tebal bergelayut, seolah menjadi payung bagi lapangan parkir yang sangat luas ini. Lapangan tanpa pepohonan yang biasanya panas terasa sejuk siang ini. Jika kau menarik nafas, udara sejuk ini akan merogoh parumu dan mencuri sekantung madu dari dua bongkah bidang berlendir dengan katu-katup udara itu. Sebuah panggung kokoh, pembawa acara itu tampak gagah dan anggun. Tubuhnya tinggi dengan liukan lekuk yang menggoda kita untuk menyandarkan kepala pada lekuk-lekuk itu.

Aku berjalan maju mendekati panggung bersama puluhan orang lainnya. Delapan puluh, sembilan puluh, mungkin seratus orang. Namun derap langkah mereka hampir tak terdengar. Aku hanya bisa mendengar sepatuku menginjak aspal, disusul injakan berikutnya. Itulah yang disebut langkah. Kita membuat jalan bagi kepala kita dengan menginjak sesuatu. Kakiku basah dengan keringat. Setiap hembusan nafas rasanya mendorong paru-paru dan semua organ dalamku turun ke kaki.

“Kita berkumpul siang ini, saudara-saudariku, karena keyakinan yang satu.” Dinginnya sisi pisau dalam genggaman orang bersentuhan dengan tanganku. Pembawa acara itu menarik nafas, begitu beratnya hingga terdengar di speaker. Hembusan nafas berat ini tak pernah terdengar dalam percakapan telepon beberapa waktu lalu.

“Halo, benar dengan Alexa?” “Ya?” “Apa benar kamu tergabung dalam triple double you dot togetherwego dot net?”  “Ya, saya anggota mailing list.” “Acara kami akan digelar dua minggu dari sekarang. Nggak ada paksaan, kamu boleh nggak datang. Kami ada di sini untukmu.”

Aku menatap pada pembawa acara yang berwibawa dengan beratnya hembus-tarik nafas di microphone. Ia tampak seperti pahlawan pada detik-detik menuju akhir.  Sebuah tali tambang terikat kuat di atap panggung, menggantung statis tidak tertiup angin. “Kita ada di sini bukan karena kita lemah, bukan karena kita pengecut!”  Suaranya serak berteriak menghantam mic. Kulihat darah menetes berulang kali di sebelahku. Anonim ini rupanya sudah menerkam makanan pembuka.

Aku sendiri… hanya punya patahan gunting kebun, yang sudah kuasah tadi pagi. Ibuku suka berkebun sendiri, menggubah semak-semak yang cantik, memangkas dahan-dahan liar, hingga pada suatu hari kutemukan ia menggantung lehernya di salah satu dahan pohon mahoni.  Tidak jauh dari tubuh Ibu kutemukan pisau kebun yang sudah hampir patah menjadi dua mata pisau, seperti kedua orang tuaku. Dua mata pisau, jika direkatkan, ia menjadi gunting. Masing-masing dari kami yang berkumpul siang ini adalah mata pisau, yang sudah bersimbah darah anjing sebelum rapalan doa dikumandangkan. Dan pembawa acara yang gagah berani ini adalah baut bulat yang menyatukan seratus mata pisau untuk melukai senja, agar jingganya tampak lebih berani.

“Tapi karena kita tahu, tidak ada nilai yang bisa kita hargai lagi di sini. Cinta, kedamaian hati, omong kosong.”

“ANJING!ANJING!” Seseorang di belakang barisanku berteriak memaki. Aku menoleh dan kulihat orang di sebelahnya sudah menggelepar di tanah dengan mulut berbusa. Wajahnya menghijau dan semua urat wajahnya mulai bertonjolan, perlahan namun pasti. Sejak kepergian Ibuku, aku tidak merasakan apapun. Tidak ada benci, marah, atau apapun. Semua rasa terkubur sempurna bersama jasadnya. Baru kali ini, setelah sekian lama, kurasakan detak jantung yang begitu hidup… seolah mataku hendak menggelinding keluar dari kelopaknya.

“Alexa, ditanya tuh sama Tante, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” Aku berpegangan pada rok Ibu, kelakuanku yang tidak disukainya. Katanya sepert anak penakut. Hanya seorang bayi yang boleh mencengkeram baju Ibunya seperti itu.

”Aku mau jadi Bapak…”

Ibu melotot melihatku dan Tante tertawa kecil. “Alexa kan perempuan…bisanya jadi Ibu.” Aku menggeleng pelan, namun terus-terusan. “Ibuku sayang banget sama Bapak, Ibu cantik banget kalau lagi dipeluk Bapak, Alexa mau jadi Bapak!” Sebuah tamparan keras membanting pipiku. Ibu marah. Ibu selalu marah padaku, dan selalu sayang Bapak. Aku mau jadi Bapak! Aku mau jadi buronan polisi, buronan wanita hamil yang selalu memukul-mukulkan tangannya ke pagar rumah, aku mau melakukan apapun yang Bapak lakukan supaya disayang Ibuku.

Si pembawa acara menggenggam lubang kepala pada tali tambang yang menggantung. Ia naik ke atas speaker  tinggi, dan menjatuhkan mic. “Mari kita akhiri mimpi buruk ini sekarang!” ucapnya lantang, mematahkan dadaku, menggetarkan agregat dan mortar dalam aspal. Rintihan-rintihan melengking terdengar bersahutan, menumpuk, menikam lapangan parkir ini secara bertubi-tubi. Kudengar suara pisau memotong kerongkongan berkali-kali hingga kepala itu hampir lepas, tubuh-tubuh jatuh namun suara rintihan masih terus bertiup di udara seperti mantra.

Kuberanikan diri, kukuatkan hatiku yang telah lama mati, demi hari ini. Sampai jumpa Ibu! Mata pisau menyobek ususku. Kutatap nanar pembawa acara. Ia terbata mengatakan, “Aku… berubah, berubah pikiran.. berubah pikiran..”

Keisha Aozora

Selasa 25 Juni 2013, 03.15

Rempoa

BOM CERPEN

__________________________________________________

KOMENTAR BOM CERPEN:

Keisha, dalam cerpen ini mencoba memberikan eksplorasi ekspresi-ekspresi yang tidak umum digunakan seperti:

“dara sejuk ini akan merogoh parumu dan mencuri sekantung madu dari dua bongkah bidang berlendir dengan katu-katup udara itu.”

Atau

“Dan pembawa acara yang gagah berani ini adalah baut bulat yang menyatukan seratus mata pisau untuk melukai senja, agar jingganya tampak lebih berani.”

Cerpen ini juga alur dengan transisi yang rapi dalam alur maju dan mundurnya cerita, seperti ketika menggunakan “hembusan nafas berat” untuk membawa pembaca mundur ke percakapan di telepon, yang telah terjadi sebelum persitiwa di lapangan parkir tersebut. Kita dapat mengikuti latar belakang kisah si tokoh utama dalam cerita dengan penyisipan kisah-kisah di masa lalu yang disampaikan dengan rapi.

Sedikit masukan, diksi dalam cerpen ini harusnya masih bisa dieksplorasi karena terasa kaku untuk membangun suasana cerpen yang memiliki tema “liar” seperti ini.

Dewan BOM Cerpen

__________________________________________________

Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,

follow Twitter @BOM_Cerpen atau

FB: Page BOM Cerpen