Kau pikir, menggesek-gesekkan tubuh ke tiang bak ular melata sepanjang malam itu pekerjaan yang menyenangkan? Sembarangan!
***
Juli di Belgia, pukul sepuluh senja baru tiba. Meski pertokoan tutup pukul lima, kesepian tak urung menggelayuti kota. Sebab kedai minuman tetap menerima pesanan pengunjung sampai gelap tiba. Kelab malam justru baru buka.
Kebanyakan penduduk Eropa gemar menghabiskan waktunya untuk bergentayangan dari bar ke bar, dari teras ke teras, mereka tak sadar hal itu yang membuat bukit di perutnya selalu membesar. Dalam perjalanan ke tempat kerja, saya mengamati bibir-bibir mereka menggauli pinggiran gelas bir. Mengocehkan sesuatu yang sebelumnya tak dipikir. Dari telinga ke telinga, sampai akhirnya ada yang tersindir dan meletuslah amarah serupa nuklir. Bukankah begitu, kisah klasik hidup?
Saya rapatkan jaket. Angin membuat usaha matahari seharian ini sia-sia. Di pertigaan, sekumpulan mata lelaki bercelana sempit yang berpapasan dengan saya menyipit. Memang, tanpa perlu menggelembungkan ribuan euro untuk silikon dada saya sudah boleh bangga. Wajah saya juga nampaknya berhasil menjerat lirikan mereka tanpa perlu botox sana sini. Mungkin karena itulah kebanyakan wanita menganggap saya sebagai ancaman.
Wanita di sebelah kamar saya, misalnya. Yang wajahnya selalu menor. Ia kerap menerobos masuk apartemen saya dan menuduh saya yang bukan-bukan setelah suaminya berulang kali bertandang untuk memperbaiki kran yang bocor. Tidak jarang juga remaja umur belasan mendelik ke arah saya ketika pacarnya menatap belahan dada saya dengan mulut terbuka. Apa mereka tak tahu bahwa saya sama sekali tidak tertarik menggantikan tugas mereka melayani pacarnya melakukan oral seks? Ada lagi nenek penjual roti di sebrang cafe tempat saya bekerja, yang sepasang korneanya alergi oleh manusia dengan warna kulit cokelat muda. Silakan, tak pernah saya larang ia untuk membenci saya bila saya tidur dengan suaminya. Tapi tidak karena saya berkulit Asia.
Saya tidak pernah tidur dengan siapa pun, setelah terakhir dengan suami saya.
Suami saya pengoleksi topeng. Ia selalu membawa topeng-topeng itu setiap kami bepergian. Topeng-topeng yang dikenakannya saat menemui kolega, kerabat, maupun keluarganya nyaris sama. Hanya dengan saya, ia mengenakan topeng yang berbeda. Ia bersikeras tak mau menukarnya meski saya pernah meminta. Dari sepasang lubang di bagian mata topeng yang selalu dikenakannya dengan saya, saya mendapati sepasang belati. Liang mulutnya kerap menghujani saya dengan ludah yang mengandung serapah. Tak kuasa lagi saya mengenyampingkan gundah yang selalu hanya mampu saya redam dengan pasrah.
Ia memperlakukan saya seperti mesin senggama yang senantiasa dimasukinya koin kapanpun ia ingin main. Selebihnya, peran saya hanya sebagai bayang-bayang. Sesuatu yang menyelaraskan gerakannya ketika ia berada di bawah sorotan. Sulit saya percaya bahwa hanya untuk itulah selama ini susah payah saya memantaskan diri mengusung predikat istri.
Semula, tidak saya kira bahwa hanya tubuh sintal saya yang menjadi alasan bibir tebalnya membual. Ia, pada pertemuan pertama kami saat itu sengaja mengenakan topeng terbaiknya. Yang saya yakin, tak seorang wanita pun akan luput dari tipuan sulapnya yang memukau. Tongkat sihir yang diayunkannya di depan mata saya mengangankan surga, sampai buta saya dibuatnya. Otak saya lumpuh seketika oleh lantunan mantra. Jampi-jampinya membuat saya mengangguk ketika ia bertanya bersediakah saya dinikahi. Sandiwaranya berhenti pada ratusan malam setelah malam pertama kami beranjak pagi.
Sebelas tahun, semenjak perangkat tubuh saya disulapnya menjadi lempengan besi, saya benar-benar hilang kendali. Apa-apa yang menjadi keputusannya hanya mampu saya tanggapi dengan bungkam. Bahkan, sampai terakhir surat cerai menampar wajah saya pun saya hanya diam. Selembar surat yang tak pernah dimimpikan perempuan mana pun itu mengantarkan saya kemari, ke sebuah gedung persegi untuk menyambung hari dengan menari. Striptease, begitu rakyat Babilon masa itu memanggil penari macam kami.
***
“Hei, alles goed?” (Hei, apa semuanya baik-baik saja?) Sambut sahabat saya tepat di pintu masuk sambil mengecup pipi saya tiga kali. Adalah sebuah peraturan tak tertulis di Belgia bahwa kami sebaiknya mengalikan tiga setiap ciuman di pipi, sebagai tanda kehangatan menyambut perjumpaan. “Heb je tampon?” (Apakah kau memiliki tampon?) Tanyanya lagi sambil menunjukan sebungkus tampon kosong tepat di depan kedua mata saya. Saya tersenyum geli sebelum menggeleng dan bergegas masuk ke dalam.
Di lorong sempit menuju ruang ganti saya berpapasan dengan banyak sekali tatapan lapar. Tidak hanya lelaki, seorang wanita berambut cepak pun mengundang jari tengah saya ketika ia mencoba meremas pantat saya, namun saya berkeras menghindar. Ia berseru, “amai, je bent zo mooi, hoe veel heb je haar betaalt?” (oh, kau begitu cantik, berapa kau pasang tarif?)
Saya percepat langkah.
“Hoor je me nou?” (Apakah kau mendengarku?)
Ritme langkah saya tidak berkurang sampai saya tiba di ruang ganti. Ruangan ini selalu membuat saya berharap sedang berada di mana saja, asal tidak di dunia ini. Tidak di ruangan ini.
Datang seorang pria pendek bertubuh gemuk menyingkap gorden. Cuping hidungnya berkeringat. “Ga je daar zitten schimmelen de heele nacht door of geld gaan maken?” (Apa kau akan duduk membasi di situ sepanjang malam atau membuat uang?) Tatapan kami bertemu melalui cermin di hadapan saya.
Gerakan jempolnya yang menuju ke arah bar membuat saya membuntuti punggungnya.
Dari atas sini, saya menyaksikan banyak sekali wajah pria berbirahi. Nyalang matanya seakan nyaris lompat keluar saat melihat saya pelan-pelan melepas kutang. Saya bergoyang. Berjingkak dan menggeliat pada sebuah tiang. Selama pundi-pundi belum terisi, saya akan terus begini. Sampai pagi. Sampai jakun-jakun yang saya lihat itu tidak turun naik lagi. Sampai desah tergantikan dengkur.
Psssst, bila kau tahu cara lain untuk mendapatkan uang tanpa perlu bergoyang, beritahu saya. Saya bisu dan tuli.
Abi Ardianda
2011
Bandung
BOM CERPEN
(Di muat di antologi Selaput Dara Berbicara, 2012)
Ilustrasi: salah satu lukisan karya Jack Vettriano.
__________________________________________________
Untuk mengetahui info terbaru kegiatan Bom Cerpen,
follow Twitter @BOM_Cerpen atau
FB: Page BOM Cerpen
Komentar